Rabu, September 02, 2009

Kisah Kelaparan Yang Menimpa Pasukan Al- Ambar

Pada bulan Rajab tahun ke-8 Hijriyah, Nabi SAW telah mengirim pasukan Muslimin sebanyak 300 sahabat R.A kesebuah tempat dekat laut, di bawah pimpinan Abu Ubaidah R.A, Rasulullah SAW hanya membekali mereka dengan sekarung kurma, mereka menetap disana selama lima belas hari, sedangkan persediaan makan telah habis. Qais R.A salah seorang anggota pasukan, membeli unta dari anggota pasukan lainnya, dengan perjanjian akan dibayar di Madinnah nanti. Unta itu disembelih olehnya untuk mengatasi kelaparan mereka. Akhirnya mereka meyemblih tiga ekor unta untuk makanan mereka setiap hari. 

 Pada hari ketiga pimpinan pasukan berpikir jika penyembelihan itu diteruskan, tentu mereka akan kesulitan kendaraan untuk pulang. Oleh sebab itu, Abu Ubaidah R.A menghentikan penyembelihan unta tersebut. Lalu ia menyuruh setiap orang untuk mengumpulkan kurmanya dalam sebuah karung. Setiap hari sebuah kurma dibagikan kepada setiap orang. Mereka hanya mengulumnya dan menambahnya dengan air minum, tanpa memakan apa-apa lagi hingga malam hari. Mengatakannya memang mudah, tetapi dalam pertempuran yang sangat memerlukan tenaga dan kekuatan, mereka hanya memakan sebiji kurma setiap hari. Ini adalah urusan hati dan perasaan. 

 Ketika Jabir R.A menceritakan hal ini, seseorang bertanya, ”Bagaimana hanya dengan sebuah kurma setiap hari?“ sahutnya ”Itu akan diketahui nilainya tatkala tidak ada yang tersisa. Sekarang, selain kelaparan tidak ada yang tertinggal. Kami terpaksa memetik dedaunan kering dicampur dengan air, lalu kami makan. Dalam keadaan terpakasa semua dapat dilakukan. Sesungguhnya Allah akan mengganti setiap kesusahan dengan kemudahan.” Setelah pasukan ini mengalami penderitaan yang sangat meyedihkan, tiba–tiba seekor ikan yang sangat besar terlempar dari laut dan terdampar. Di pantai di depan mata mereka. Ikan itu biasa disebut dengan ikan Ambar (ikan paus). Demikian besar ikan itu sehingga walaupun terus menerus dimakan selama delapan belas hari, ikan itu tidak juga habis, bahkan mereka dapat membawa dagingnya ketika kembali ke Madinnah. Ketika peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah SAW beliau berkata, “Ikan itu rezeki yang sengaja diturunkan Allah untuk kalian.” 

Faedah
 Penderitaan dan kesusahan dalam hidup adalah sesuatu yang biasa terjadi pada diri manusia. Terutama orang-orang yang dekat dengan Allah SWT, mereka akan diberi penderitaan ini, untuk itulah Nabi SAW bersabda “Penderitaan yang terberat diberikan kepada Anbiya’ A.S. kemudian kepada orang-orang yang mulia dalam umat ini, kemudian yang lebih rendah lagi diturunka kepada orang yang keutamaannya lebih rendah dari yang kedua.” 

 Ujian akan diberikan kepada seseorang sesuai dengan ketaatannya dalam agama. Jika lebih dekat dengan Allah SWT maka ujian akan lebih sulit lagi. Dan setiap selesai mengalami suatu kesusahan dengan rahmat dan kasih sayang Nya akan diiringi kemudahan. Hendaklah kita senantiasa berpikir betapa orang-orang terdahulu sangat bersusah payah itu semua semata-mata demi agama. Untuk menyebarka agama yang hari ini kita sia-siakan begitu saja. Mereka menderi kelaparan, memakan dedaunan dan menumpahkan darah ketika menyebar agama. Pada hari ini, bahkan menjaganya saja kita tidak mampu.  



Menjamu Tamu Tak Diundang

Kisah R.A Memadamkan Lampu Demi Menjamu Tamunya

 Seorang sahabat R.A menjumpai Nabi SAW dan mengadukan kelaparan dan penderitaanya kepada beliau, lalu Nabi SAW menyuruh seseorang bertanya kepada istri-istri beliau, apakah di rumah ada sisa makanan, ternyata tidak ada. Lalu Nabi SAW bertanya kepada para sahabatnya, ”Adakah diantara kalian yang malam ini bersedia melayani tamu ini?“. Seorang Anshar menyahut, “Ya Rasulullah, saya bersedia menerimanya sebagai tamu saya.” Sahabat Anshar itu membawa pulang tamu tadi kerumahnya dan berkata kepada istrinya, ”Ia adalah tamu Rasulullah SAW, jangan sampai kita mengecewakannya dan jangan sampai kita menyembunyikan apapun untuk memuliakannya.“ jawab istrinya, ”Demi Allah, aku hanya menyimpan sedikit makanan, itu pun hanya cukup untuk anak-anak kita.” Jawab suaminya, ”Hiburlah dulu anak–anak kita sampai mereka tidur, jika sudah tidur, hidangkanlah makanan itu untuk tamu kita. Aku akan duduk dengannya. Lalu padamkanlah lampu, sambil berpura-pura akan membetulkannya, istrinya melaksanakan rencana itu dengan baik pada malam itu suami istri dan anak–anaknya terpaksa menahan lapar. Terhadap peristiwa ini, Allah SWT berfirman : 

“Dan mereka mengutamakan (Kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Q.s. Al- Hasyr : 9). 

 Masih banyak kisah para sahabat sebagaimana kisah di atas. Inilah sebagian kisah lainnya : 

KISAH SAHABAT R.A MEMADAMKAN LAMPU UNTUK MENJAMU SEORANG YANG SEDANG BERPUASA 

 Seorang sahabat R.A selalu berpuasa, ia sering tidak memiliki makanan untuk berbuka, ketika Tsabit Al-Anshari R.A mengetahui keadaan sahabat tersebut ia berkata pada istrinya, ”Aku akan membawa seorang tamu malam ini. Jika kami mulai makan, padamkanlah lampu dan berpura-puralah untuk memperbaikinya. Selama perut tamu itu belum kenyang kita jangan makan makanan itu sedikitpun.” Rencana mereka berjalan lancar. Keesokan paginya, ketika Tsabit hadir di Majelis Rasulullah SA, beliau SAW, bersabda, ”Wahai Tsabit, Allah sangat menghargai palayananmu kepada tamumu tadi malam.” (Durrul Mantsur).



Kisah Terbunuhnya Musailamah dan Pengumpulan Al-Quran

Setelah Rasulullah SAW. Wafat, Musailamah Al-Kadzab yang pada masa hayat Rasulullah SAW saja sudah mengaku sebagai Nabi, semakin menjadi-jadi karena pada waktu itu orang-orang Arab banyak yang Murtad dari Islam, maka Musailamah semakin mendapat kekuatan sehingga Abu Bakar R.A. memutuskan untuk memerangi mereka. Dan Allah SWT, memberikan kekuatan kepada Islam sehingga Musailamah dapat dibunuh. Namun, pada pertempuran itu sebagian besar sahabat yang Syahid adalah para Hafidz Al-Quran. 

 Umar Bin Khaththab R.A. berkata kepada Amirul-Mukminin, Abu Bakar R.A, “Dalam pertempuran itu, banyak Qari` yang Syahid. Aku khawatir jika ada pertempuran lagi, maka akan banyak bagian Al-Quran yang hilang. Untuk itu, sebaiknya Al-Quran ditulis di suatu tempat agar selamat dan terjaga.” Abu Bakar R.A berkata, “Bagaimana aku berani mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah?”. Namun Umar R.A terus mendesaknya dan menyampaikan pentingnya mengumpulkan Al-Quran. Akhirnya, Abu Bakar R.A menyetujui usul Umar R.A itu. Maka dipanggillah Zaid Bin Tsabit R.A. Zaid R.A bercerita, “Suatu ketika, aku sedang bersama Abu Bakar, lalu datanglah Umar.” Kemudian Zaid R.A menceritakan pembicaraan antara Abu Bakar dengan Umar R.Huma. Setelah pembicaran itu, Abu Bakar R.A memanggilku dan berkata, “Engkau seorang pemuda yang cerdas, orang-orang sangat mempercayaimu, dan tidak ada yang bersangka buruk terhadapmu. Selain itu, engkau termasuk penulis wahyu pada zaman Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, kumpulkanlah Al-Quran yang ada pada orang-orang dan tulislah di suatu tempat.” 

 Zaid R.A berkata, “Demi Allah, seandainya aku diperintahkan memindahkan sebuah gunung dari suatu tempat ke tempat lain, ini lebih mudah bagiku daripada harus mengumpulkan Al-Qur`an.” Aku berkata kepada mereka, “Mengapa hal ini harus dilakukan, padahal Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya?” Mereka menasehatiku. Menurut sebuah Hadits, Abu Bakar R.A berkata kepada Zaid R.A, “Jika engkau mengerjakan sesuai dengan perintah Umar, maka itulah yang aku perintahkan. Dan jika engkau tidak setuju, maka aku tidak berniat memerintahkannya.” 

 Zaid R.A bercerita, “Setelah lama membahasnya, akhirnya Allah membukakan hatiku untuk mengumpulkan Al-Qur`an menjadi satu. Sebelumnya, Al-Qur`an ditulis di tempat yang terpisah-pisah. Sebagian ada yang tersimpan di dada pada sahabat R.Hum, semuanya dicari sehingga dapat terkumpul.” (Bukhari). 

Faedah 
  Dalam kisah ini dapat kita ketahui tentang ketaatan para sahabat R.Hum kepada Nabi SAW. Lebih mudah bagi mereka untuk memindahkan gunung daripada harus melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Apalagi mengumpulkan Al-Quran sebagai dasar agama, Allah SWT meletakkan pahala ini semua dalam buku catatan para sahabat R.Hum tersebut. Zaid R.A dengan penuh kehati-hatian telah mengumpulkan Al-Qur`an sehingga tidak mengambil ayat yang tidak tertulis. Ia hanya mengumpulkan dari catatan-catatan yang telah ditulis pada masa Nabi SAW masih hidup, kemudian dicocokkan dengan Al-Qur`an yang ada di dalam dada para sahabat (yang mereka hafal). Untuk mengumpulkannya diperlukan usaha yang sangat gigih karena ayat-ayat Al-Qur`an telah ditulis di tempat yang berbeda. Namun Alhamdulillah, semuanya dapat dikumpulkan. Ubay Bin Ka`ab R.A yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling mahir dalam Al-Qur`an selalu ikut membantu dalam usaha ini. Karena usaha tersebut, seluruh Al-Qur`an telah dikumpulkan untuk pertama kalinya oleh para sahabat R.Hum.


Sengsara Membawa Nikmat

Kisah Islamnya Abu Dzar Al-Ghifari R.A

 Abu Dzar Al-Ghifari R.A adalah seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal. Dikemudian hari, ia termasuk golongan ahli Zuhud dan ulama besar pada zamannya. Ali R.A berkata, “Abu Dzar memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain, namun ia menyimpannya.” Ketika pertama kali mendengar kabar kenabian Muhammad SAW, Abu Dzar mengirim saudaranya ke Makkah untuk memastikan berita itu. Ia berkata kepada saudaranya, “Apabila ada orang yang mengaku, `Telah datang wahyu kepadaku dari langit,` maka selidikilah ia dan dengarkan dengan baik kata-katanya.” Saudaranya pun pergi ke Makkah. Dan setelah menyelidiki di sana, ia pun kembali dan melaporkan, “Aku melihat ia memerintahkan agar melaksanakan kebiasaan baik dan berakhlak mulia. Dan aku mendengar ucapannya yang sangat indah, namun bukan ucapan syair atau ucapan ahli sihir. 

 Abu Dzar R.A tidak puas dengan berita saudaranya itu, sehingga ia memutuskan untuk pergi sendiri ke Makkah. Setibanya di sana, ia langsung menuju Masjidil-Haram. Pada saat itu ia belum mengenal wajah Nabi SAW., dan ia menduga tidak aman baginya jika menanyakan tentang Nabi kepada orang-orang. Hingga petang ia masih menyelidikinya. Ketika itu, Ali R.A melihat seorang Musafir asing. Pada masa itu, menjadi kebiasaan para sahabat untuk memperhatikan para Musfir, orang-orang miskin, orang-orang asing, lalu memenuhi hajat mereka. Ali R.A pun mengajaknya ke rumahnya dan melayaninya. Ali R.A merasa belum perlu bertanya mengenai siapa dan apa maksud kedatangannya. Dan Musafir tersebut juga tidak mengemukakan maksudnya kepada tuan rumah. 

 Pada pagi harinya, ia kembali ke mesjid dan menyelidiki lagi tanpa mengetahui apa pun dan tidak bertanya kepada siapa pun. Mungkin hal ini disebabkan berita permusuhan terhadap Nabi SAW telah tersebar luas. Nabi SAW dan siapa saja yang berani menemui beliau akan diganggu oleh mereka. Mungkin ia berpikir bahwa ia tidak akan mengetahui keadaan yang sebenarnya, karena gangguan yang mungkin tiba-tiba menimpanya, sehingga ia tetap menyendiri. 

 Pada sore hari kedua, Ali R.A berpikir, “Musafir yang terlantar ini pasti ada tujuannya datang kemari, mungkin tujuannya belum terpenuhi,” maka ia mengajak kembali tamunya menginap di rumahnya. Malam telah berlalu. Ali R.A masih belum sempat bertanya kepadanya. Malam ketiga pun sama seperti malam sebelumnya, “Apakah tujuanmu datang kemari?” Setelah meminta Ali bersumpah dan berjanji akan menjawab jujur setiap pertanyaanya, barulah Abu Dzar mengutarakan maksudnya. Ali R.A berkata, “Sungguh, beliau adalah utusan Allah. Jika esok pagi aku pergi, ikutilah aku. Aku akan mengantarmu kepada beliau. Namun, jika para penentang mengetahui hubungan kita, jumlah mereka sangat banyak dan berbahaya. Agar tidak dicurigai, jika ada bahaya yang mengancam, aku akan pura-pura buang air atau memperbaiki sepatu. Hendaknya engkau terus berjalan, jangan menungguku agar perjalanan kita tidak diketahui orang.”

 Keesokan paginya, Ali R.A. dan Musafir itu tiba di rumah Rasulullah SAW dengan sembunyi-sembunyi. Mereka berbincang-bincang dengan beliau. Dan pada saat itulah Abu Dzar R.A masuk Islam. Selanjutnya, karena Rasulullah SAW sangat mencemaskan gangguan yang akan menimpa Abu Dzar R.A beliau melarangnya agar tidak menunjukan ke Islamannya di muka umum. Beliau bersabda, “Pulanglah ke kaummu dengan sembunyi-sembunyi, dan kamu boleh kembali kesini jika kami telah menang.” Jawab Abu Dazar R.A, “Ya Rasulullah, demi Dzat yang nyawaku ada di tangan-Nya, aku akan mengucapkan kalimat Tauhid ini dihadapan orang-orang yang tidak beriman itu.” Lalu ia segera pergi ke Masjidil-Haram, dan dengan suara lantang ia berteriak, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
  Begitu selesai mengucapkan kata-kata tersebut, orang-orang menyerangnya dari segala arah. Tubuhnya terluka hebat, bahkan ia hampir menemui ajalnya. Untunglah paman Nabi SAW, Abbas R.A yang ketika itu belum masuk Islam, melindungi Abu Dzar dengan tubuhnya sambil berteriak, “Kalian sungguh Zhalim, orang ini orang Ghifar, Kabilah ini tinggal diantara jalan menuju Syam. Perniagaan kalian dan segala urusannya adalah dengan negeri Syam. Jika ia mati, jalan lalu lintas ke Syam akan tertutup bagi kita. Memang benar bahwa semua keperluan mereka datang dari Syam. Jika jalur itu tertutup, itu adalah bencana bagi mereka. Akhirnya, mereka meninggalkan Abu Dzar R.A. 

 Pada hari kedua. Abu Dzar R.A mengulangi perbuatan yang sama. Ia pergi ke Masjidil-Haram dan meneriakkan kalimat Tauhid di hadapan orang banyak. Orang-orang yang membenci ucapan itu pun kembali memukulinya. Dan pada hari itu, Abbas R.A jugalah yang mengingatkan kaumnya bahwa jika ia mati, maka jalur perdagangan mereka akan tertutup. 

Faedah 
  Walaupun Rasulullah SAW menasihati Abu Dzar agar tidak menunjukkan ke Islamannya, semangatnya yang tinggi untuk memperlihatkan yang hak telah merasuki jiwanya. Ketika agama yang hak ini telah merasuki jiwa seseorang, maka tidak ada alasan baginya untuk menutupinya dari siapapun. Adapun larangan Nabi SAW. Adalah karena rasa sayang beliau kepadanya, khawatir kalau Abu Dzar R.A tidak mampu menanggung penderitaannya. Tidak ada sedikit pun perasaan menentang Nabi SAW dalam hati para sahabat R.Hum. 

 Dalam menyebarkan agama, Nabi SAW sendiri telah banyak menderita. Oleh sebab itu, Abu Dzar R.A memilih untuk mengikuti penderitaan Nabi SAW, bukan menerima kemudahan yang beliau berikan. Inilah penyebab urusan agama dan urusan dunia para sahabat sempat meningkat dan menang di setiap medan. Siapapun yang telah mengucapkan sahadat sekali saja berarti berada di bawah naungan bendera Islam. Tiada kekuatan sebesar apapun yang dapat menghentikan semangat mereka, dan tiada satupun kezhaliman yang dapat menghentikan Syiar agama pada diri mereka.



Dayang-Dayang Ke Rumah Abadi

Kisah Ali R.A Melewati Tanah Pemakaman

 Kumail R.A bercerita, “Pada suatu hari aku berjalan bersama Ali R.A hingga tiba di suatu hutan lalu Ali R.A mendekati sebuah kuburan sambil berkata, “Wahai penghuni kubur, wahai penghuni tempat sunyi, wahai yang berbau busuk, wahai yang penuh ketakutan. Bagaimanakah kabarmu?“ kemudian ia berkata, ”Ada pun kabar kami disini, hartamu telah dibagi-bagikan, anak-anakmu telah menjadi yatim, dan istri-istrimu telah menikah lagi. Inilah berita kami. Ceritakanlah sedikit tentang kalian,” Seraya menoleh kepadaku, ia berkata, ”Wahai Kumail seandainya mereka boleh dan dapat berbicara mereka akan berkata bahwa sebaik-baik bekal ia takwa.” Setelah berkata demikian ia menangis, “Wahai Kumail kubur adalah tempat menyimpan amal, dan kita akan menyadarinya setelah maut menjemput kita.” (Muntakhab, Kanzul-Ummal).

Faedah
 Amal baik atau buruk seseorang akan disimpan di dalam kubur bagaikan tersimpan di dalam kotak. Banyak hadist yang menjelaskan bahwa amal baik akan datang berupa seseorang yang tampan, ia akan menjadi sahabat dan penghuni si mayit. Sebaliknya, amal buruk akan datang sesuatu yang buruk rupa, busuk, dan hanya akan lebih menyengsarakan mayit. Sebuah hadist menyebutkan, ”Tiga hal yang mengiringi manusia sampai ke kuburnya, yaitu hartanya (sebagaimana kebiasaan orang Arab), keluarganya, dan perbuatannya. Harta dan keluarganya akan kembali setelah penguburan, dan yang tinggal bersamanya hanyalah amal perbuatannya.” 

 Suatu ketika, Nabi SAW bertanya kepada para sahabatnya “Tahukah kalian bagaimana perumpamaan kalian dengan sanak saudara kalian, harta kalian, dan amal perbuatan kalian?” Atas keinginan sahabat, Nabi SAW bersabda, ”Perumpamaannya bagaikan seseorang yang memiliki tiga saudara.” Menjelang kematiannya, ia memangil saudara-saudaranya dan berkata, ”Saudara-saudaraku kalian telah mengetahui bagaimana keadaanku ini, maka bantulah apa yang dapat kalian berikan kepadaku?” Saudaranya yang pertama menjawab, “Aku akan menyayangimu, aku akan mengobatimu dan aku akan melayani segala keperluanmu, jika kamu meninggal dunia aku akan memandikanmu, mengkafanimu, dan menguburkanmu lalu aku akan senantiasa mengigat kebaikanmu.” Sabda Nabi SAW, ”Saudara seperti ini adalah sanak saudara dan keluarganya.” Kemudian pertanyaan yang sama diajukan kepada saudaranya yang kedua, lalu dijawab, ”Aku akan bersamamu selama engkau masih hidup, jika kamu meninggal aku akan pergi kepada yang lain saudaranya itu adalah hartanya.” Kemudian ia memanggil saudaranya yang ketiga dan menanyakan hal yang sama. Maka dijawab, ”Walaupun di dalam kubur, aku akan bersamamu, akan kutenangkan hatimu jika akan di hisab, dan aku akan memberatkan amalan baikmu.” Saudaranya ketiga ini adalah amal shalihnya. Sabda Nabi SAW, ”Sekarang sebutkanlah manakah yang menjadi pilihanmu? Para sahabat R.A menjawab “Ya Rasulullah, jelas saudara yang terakhir itulah yang kami pilih yang pertama dan kedua kurang bermanfaat.”